Indahnya Bekerja di Sekolah Multikultural

Waktu pertama kali memakai jilbab, ada seorang teman yang heran kok saya bisa pakai jilbab di sekolah? Bukankah sekolah tempat saya mengajar itu sekolah Kristen? Jawabannya bisa, lha wong sekolahannya bukan khusus agama Kristen, melainkan sekolah umum.


Sebenarnya saya nggak akan bahas masalah agama, melainkan tentang bagaimana perasaan saya bekerja di sekolah yang multikultural. Yang terbiasa mengikuti aktivitas saya di media sosial (@meifariwis) pasti sudah tahu kalau mayoritas murid-murid di sekolah adalah anak keturunan dari berbagai suku, ras, dan agama.


Menjalin Silaturahmi di Grup FB WONKASIHAN

Foto: FB Tolloe Saputra

Menjalin Silaturahmi di Grup FB WONKASIHAN. Semenjak tinggal di Cikarang, saya jadi terbiasa menggunakan bahasa Indonesia daripada Jawa. Padahal aslinya saya ini Jawa tulen, dari kecil tinggal di kampung, bahasa sehari-hari pun bahasa Jawa. Malah dulu sering diajari bahasa Jawa Krama Inggil sama mbah kakung. Sekarang mah boro-boro Krama Inggil, Krama Ngoko aja jadi susah banget.

Bahasa Jawa hanya saya pakai saat berkomunikasi dengan suami, itupun jarang. Tapi terkadang saya ngobrol santai dengan rekan kerja di sekolah dengan bahasa Jawa sih. Kapan-kapan cerita akh tentang uniknya kerja di sekolah multiculture, hehehe.

Baca juga: Blogspot berlabel "SCHOOL"

Trend Fashion Muslim Pilihanku

Bulan Januari 2016 yang lalu saya memutuskan untuk memakai jilbab. Sebenarnya keinginan untuk menutup aurat tersebut sudah ada sejak lama, tapi baru setahun belakangan ini saya mantab tanpa paksaan untuk menjalankannya.

Awalnya muncul banyak pertanyaan “Kok bisa ya saya memakai jilbab, padahal saya mengajar di sekolah yang multiculture begitu?”. Banyak yang mengira sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah Katholik, padahal bukan.

Jangan Remehkan Guru SD!

Jangan Remehkan Guru SD! Beberapa hari yang lalu, ada tetangga yang bertanya mengenai apa sebenarnya pekerjaan saya ini. Tanpa berpikiran negatif, saya pun menjawab bahwa saya kerjanya mengajar di sekolah. Si ibu yang super kepo itu bertanya lagi, "Guru apa mbak?"

Masih dengan pikiran yang positif saya kembali menjawab, "Saya guru SD bu". Coba tebak si ibu tetangga bilang apa? 

"Oh guru SD? (sambil mengernyitkan dahi), nggak ngajar SMP atau SMA aja?". Dengan jawaban yang diplomatis akhirnya saya menyudahi perbincangan singkat nggak jelas itu.

10 Pertanyaan Evaluasi Diri Bagi Seorang Guru #1

10 Pertanyaan Evaluasi Diri Bagi Seorang Guru #1. Belum lama ini saya membaca sebuah buku yang berisi 10 pertanyaan tentang "Evaluasi Diri Sebagai Seorang Guru". Sebenarnya tahap evaluasi guru ini sering banget dilakukan di sekolah-sekolah. Bahkan beberapa minggu lalu saya baru saja disupervisi oleh kepala sekolah. Tapi demi profesionalitas, evaluasi diri juga sudah selayaknya dilakukan oleh si guru itu sendiri.


Kenapa saya harus repot-repot mengevaluasi diri? Padahal jelas-jelas kepala sekolah dan dinas pendidikan sudah menilai kinerja saya sebagai seorang guru. Itu karena ternyata, proses evaluasi diri sangat penting dan memberikan banyak manfaat. 

5 Benda yang Ingin Saya Beli di Tahun 2017

Kalau ada yang temenan sama saya di facebook pasti tahu deh kapan hari saya update status tentang "KERUSAKAN KULKAS" di rumah. Iya, kulkas saya rusak dan itu gara-gara kecerobohan saya sendiri, sedih jadinya huhuhuhu.

Klik untuk memperbesar

Temanku Jadi Kepala Desa

Temanku jadi kepala desa. Dulu sewaktu masih duduk di bangku SMA, saya termasuk tipe siswa yang pendiam. Model anak yang kalau selesai sekolah ya pulang, ngerjain PR, dan tidur. Meskipun begitu saya senang bisa merasakan masa SMA yang kata orang adalah masa-masa paling indah.

Baca juga: Nano-nanonya Masa SMA

Saya bersyukur meski tidak "sepopuler" teman-teman yang lain tapi saya memiliki teman-teman yang baik dan lingkungan pergaulan yang baik pula. Jadinya nggak menyesal meskipun tiap hari kegiatannya ya itu-itu aja, hahaha.